Jumat, 03 Desember 2010

pertanggung jawaban korporasi pidana

Pengabaian regulasi di bidang bisnis transportasi Indonesia dengan mengabaikan regulasi yang ada merupakan perbuatan bisnis kotor (dirty bussines). Tujuan meraih keuntungan sebesarbesarnya dengan mempergunakan modal seminim-minimnya, mengabaikan faktor keselamatan manusia merupakan manifestasi sikap kriminal.Tren bisnis menghalalkan segala cara ini sangat berbahaya. Terlebih bisnis transportasi terkait erat dengan nyawa manusia. Hal itu tidak saja merupakan pengingkaran tanggung jawab sosial, juga merupakan kejahatan serius.
Penelitian yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat menunjukkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi sangat sulit ditemukan,diinvestigasi,atau untuk dikembangkan secara sukses sebagai kasus-kasus hukum oleh karena kompleksitas dan kerumitannya. Masyarakat menganggap,kejahatan kerah putih (white collar crime) dan kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan tindak pidana yang lebih serius daripada tindak pidana lainnya seperti pembobolan (burglary) dan perampokan (robbery).(Sutan Remi:2006)
Dalam kasus-kasus kecelakaan transportasi,pertanggungjawaban pidana harus diperluas,bukan hanya terhadap individu,juga kepada korporasi yang diduga telah melakukan tindak pidana.Pertanggungjawaban pidana korporasi penting untuk dimintakan karena sangat tidak adil, jadinya apabila perusahaanperusahaan yang mengabaikan regulasi yang telah ditetapkan,lepas dari jeratan hukum,padahal perbuatan perusahaan tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Disejajarkannya kata pelaku dan korporasi,memiliki makna bahwa keduanya dapat dimintakan pertanggungjawaban secara sendirisendiri, bukan alternatif.Filosofi pertanggungjawaban pidana individual lebih ditujukan sebagai akibat perbuatan individu yang mengakibatkan matinya orang lain. Kepada korporasi lebih ditujukan untuk ’’mengganti”kerugian yang ditimbulkan dalam kerangka menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat yang hak-haknya telah terkorbankan.
Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi ketimbang pertanggungjawaban individual dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan Quinn (2002).Pertama,tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi,perusahaan- perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan.
Kedua,dalambeberapa kasus,demi tujuan prosedural,lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya.
Ketiga,dalam hal tindak pidana serius,sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut.
Keempat,ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya.Kelima, apabilasebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal,seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja.
Keenam,pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaanperusahaan untuk menekan pegawainya,baik secara langsung atau tidak langsung,agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh,publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan ilegal,di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya.

Strict Liability


Dari sisi hukum pidana,pertanggungjawaban pidana korporasi dimungkinkan melalui doktrin strict liability.Doktrin strict liability dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan solusi atas ’’abu-abunya”posisi korporasi sebagai subjek hukum pidana. Sekaligus jawaban atas masalah ’’sulitnya” membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yang diduga melakukan tindak pidana.
Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian)para pelaku.Tetapi ditekankan kepada hal, akibat dari perbuatannya itu telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.Cukuplah apabila dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan yang dilarang ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana (offences of strick liability). ***
Banyak kalangan berharap,bencana transportasi di Indonesia tidak lagi diletakkan dalam pembenahan regulasi, tetapi lebih menyentuh sisi penegakan hukum terhadap korporasi.Pembentukan tim pencarian nasional,asuransi bagi korban dan lain-lain tidaklah cukup dijadikan alasan pembenar bahwa korporasi telah bertanggung jawab kepada korban (masyarakat)
Kasus bencana transportasi seharusnya dijadikan ’’pintu masuk” aparat penegak hukum untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada elite-elite dan owners perusahaan yang melakukan pelanggaran regulasi.Dari sisi ini,jika aparat penegak hukum bisa membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pekerja di bidang transportasi merupakan tindakan dalam rangka memberikan manfaat kepada perusahaan,berupa keuntungan finansial ataupun keuntungan-keuntungan lainnya, pertanggungjawabannya secara pidana harus dikedepankan.Dengan kasus ini, sekarang saatnya dilahirkan precedent tentang pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi.
Hal ini sekaligus test case bagi aparat bagaimana meminta pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia. Di luar paparan di atas,langkah penting yang harus dilakukan menyempurnakan ketentuan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi di dalam rancangan KUHP yang baru. Dengan penyempurnaan,berupa kejelasan syarat dan mekanisme hukum pertanggungjawaban pidana korporasi,diharapkan persoalan pidana oleh korporasi diselesaikan melalui cara-cara yang beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar